Alkisah ketika hanya terdapat tiga kerajaan di dunia ini yaitu
Ginjang, Tonga, dan Toru. Para penghuni masing-masing kerajaan tidak boleh
memasuki kerajaan yang bukan wilayahnya tanpa ada izin terlebih dahulu dari pihak
kerajaan tempatnya tinggal dan dari pihak kerajaan yang akan dimasukinya. Jika
ada yang melanggarnya maka yang memasuki kerajaan lain itu akan terjebak
selamanya di kerajaan yang dimasuki. Si pelaku hanya diperbolehkan kembali
hanya jika kedua pihak pemilik kerajaan mengadakan pertemuan dan sepakat untuk
mengembalikan si pelaku dengan beberapa syarat yang akan sangat memberatkan si
pelaku. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran kepada si pelaku agar
menghargai peraturan yang sudah disepakati oleh ketiga penguasa kerajaan
tersebut.
Di kerajaan Ginjang tinggallah Tuan Batara Guru dan istrinya
Siboru Pareme yang memiliki dua orang putra dan sepasang putri kembar. Kedua
putranya merupakan pria yang perkasa dan sakti bernama Tuan Sori Mahummat dan Datu
Tantan Debata Guru Mulia, sedangkan putri kembarnya bernama Sorbajati dan Deak
Parujar. Kedua putrinya sangat rajin dan berbakat. Sorbajati sangat menyenangi
musik dan menari tor-tor, sedangkan Deak
Parujar senang menenun ulos. Pada
saat upacara atau pesta, keduanya sering dimintakan untuk mempertunjukkan kebolehannya
masing-masing. Sorbajati akan menari dengan sangat lincah sambil mengenakan lembaran
ulos hasil tenunan adiknya, Deak
Parujar.
Ketika beranjak
dewasa, Sorbajati dipanggil oleh ayahnya. Sang Ayah menyampaikan keinginannya
untuk menunangkan putrinya itu dengan keponakannya bernama Raja Enda-enda. Raja
ini sangat terkenal karena keahliannya membangun rumah dengan ukiran-ukiran
yang sangat rumit dan indah yang disebut dengan gorga. Kepiawaiannya dalam membuat gorga itu membuatnya dikenal juga sebagai Tuan Ruma Gorga. Sorbajati
belum pernah bertemu dengan sepupunya itu, namun karena dia percaya bahwa
pilihan ayahnya adalah yang terbaik baginya, dia pun menyetujui pertunangan itu.
Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, pernikahan akan dilangsungkan
setelah Raja Enda-enda menyelesaikan sebuah rumah untuk ditempati bersama
istrinya nanti.
Sorbajati yang
mendengar bahwa calon suaminya adalah ahli membangun rumah, ingin mengetahui
bagaimana hasil karyanya. Bersama dengan adiknya Deak Parujar, mereka pergi mengunjungi
rumah-rumah yang dibangun oleh Raja Enda-enda. Kedua putri itu sangat terkesan
dengan karya-karya Sang Raja yang sangat indah. Sorbajati tidak sabar ingin bertemu
dengan tunangannya. Dia berpikir bahwa seseorang yang mampu menghasilkan karya
seindah ini tentulah seorang yang berjiwa seni tinggi dan sangat tampan rupawan.
Sorbajati pun semakin penasaran karena meskipun Raja Enda-enda adalah seorang
pandai kayu yang tersohor, namun tak seorang pun mengaku pernah melihatnya. Rasa
penasarannya membuat Sorbajati merengek kepada ayahnya agar segera dipertemukan
dengan tunangannya. Tuan Batara Guru menyampaikan undangannya kepada Raja Enda-enda
untuk berkunjung ke kediamannya, namun karena Raja Enda-enda masih mengerjakan
rumah bagi keluarga barunya nanti, dia tidak bisa memenuhi panggilan Tuan
Batara Guru. Dia mengatakan bahwa segera setelah rumahnya selesai, dia akan
berkunjung ke rumah Tuan Batara Guru untuk meminang putrinya. Sang Putri merasa
sedih mendengar jawaban tunangannya. Ayahnya memintanya untuk bersabar sebentar
lagi. Akan tetapi Sorbajati tidak bisa menyingkirkan rasa keingintahuannya
untuk bertemu dengan tunangannya.
Suatu pagi
yang cerah tanpa sengaja sang Putri mendengar pembicaraan ayahnya dengan kedua
kakaknya tentang Raja Enda-enda. Kedua kakaknya sangat menghormati sepupunya
itu dan berkata akan mengunjunginya di rumah Pamannya. Tapi sang Ayah
mengatakan bahwa calon menantunya itu tidak sedang berada di rumah orangtuanya,
melainkan di tempat lain dimana dia sedang membangun rumah barunya. Kedua
kakaknya bertanya dimana tempatnya agar mereka bisa bertemu dan berbincang.
Sang Ayah kemudian memberitahu namun melarang keduanya untuk mengunjungi
sepupunya itu. Ayahnya menyarankan agar tidak menggangu Raja Enda-enda selama
dia melakukan pekerjaannya. Kedua kakaknya menurut dan berjanji tidak akan
mengganggunya. Mereka tidak tahu bahwa Sorbajati juga mendengar pembicaraan
itu.
Sore hari setelah
meyelesaikan pekerjaan rumahnya, Sorbajati diam-diam pergi menuju kediaman Raja
Enda-enda. Dia menempuh perjalanan yang cukup jauh sehingga ketika tiba di
tujuannya, hari sudah malam. Bulan bersinar dengan sangat cerah sehingga dia
masih bisa melihat dengan jelas ada sebuah rumah yang sangat indah disana. Atapnya
menjulang tinggi dengan dinding yang tersusun dari lembaran-lembaran kayu lebar.
Pada bagian bawahnya tersusun tonggak-tonggak kayu yang menyokong rumah itu. Dia
juga bisa melihat undakan kayu di bagian depan rumah, seolah undakan itu
menembus lantai rumah. Sebagian dinding depan rumah itu sudah dihiasi ukiran
gorga yang sangat indah.
Dari balik
tanaman bambu tempat persembunyiannya Sorbajati mencari-cari dimana kiranya
tunangannya berada. Lalu dari arah dinding yang dihiasi gorga dia seolah mendengar suara menyerupai suara pahat. Dia
mencari-cari berharap bisa melihat sosok Raja Enda-enda, namun betapa
terkejutnya dia melihat bahwa yang sedang mengukir gorga di dinding rumah itu adalah sosok ilik (kadal). Sorbajati tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Betapa
sedihnya dia melihat bahwa sosok tunangan yang diimpikannya selama ini ternyata
adalah seekor kadal. Dia berdiri dari tempat persembunyiannya dan langsung
berlari pulang membawa kekecewaan yang sangat mendalam di hatinya.
Sorbajati kini
hanya bisa bersedu sedan, meratapi nasibnya yang akan menikahi seekor kadal. Dia
juga kecewa betapa ayahnya tega menjodohkannya dengan mahluk seperti itu. Seharian
dia hanya mengurung diri di kamarnya, tidak ingin makan dan minum. Bahkan dia
tidak mempedulikan tenunan ulos yang
baru saja diselesaikan adiknya. Tuan
Batara Guru dan Siboru Pareme kebingungan melihat tingkah laku putrinya yang tiba-tiba
berubah menjadi murung. Mereka menanyakan apa kiranya yang membuat putrinya
menjadi sedih begitu. Namun Sorbajati tetap diam seribu bahasa. Bahkan ketika
adik kembarnya Deak Parujar membujuknya untuk menceritakan apa kiranya yang
terjadi dengan kakaknya, dia hanya menghela nafas dan memalingkan wajahnya. Adiknya
harus membujuknya berkali-kali sampai akhirnya Sorbajati menceritakan apa yang
dilihatnya pada saat dia pergi diam-diam ke rumah Raja Enda-enda. Deak Parujar terkejut
mendengar keberanian kakaknya yang tidak menghiraukan saran ayahnya untuk tidak
mendatangi Raja Enda-enda. Namun demikian dia tetap mencoba menghibur kakaknya
agar bersabar menghadapi kehidupan baru yang akan dijalaninya tak lama lagi. Sorbajati
hanya menghela nafas dan memalingkan wajahnya dari Deak Parujar.
Keesokan harinya Tuan Batara Guru mencoba menghibur putrinya
dengan membuat sebuah pesta meriah yang diiringi musik gondang dan uning-uningan.
Musik itu sangatlah indah dan lincah dengan perpaduan suara gendang, gong,
kecapi, dan seruling. Bahkan semua undangan menari tor-tor mengikuti irama musik yang indah itu.
Disaat semua undangan sudah larut dalam sukacita tarian,
dengan langkah lunglai Sorbajati
mendekati pemain gondang yang berada
di bagian loteng rumahnya. Orang-orang yang melihatnya berpikir bahwa dia ingin
melihat para pemain musik memainkan instrumennya masing-masing. Namun ternyata Sorbajati
tiba-tiba melompat dari sana dengan bersumpah bahwa dia lebih memilih terbenam
di tanah daripada harus menikahi Raja Enda-enda. Semua hadirin saat itu menjadi
histeris panik dan menangisi tubuh Sorbajati yang perlahan diserap tanah. Betapa
sedih hati ayah, ibu dan saudara-saudaranya terlebih karena mereka tidak tahu
apa penyebab Sorbajati sampai berbuat senekat itu. Hanya Deak Parujar yang tahu
apa penyebab kesedihan kakaknya tapi tidak memberitahu kepada siapapun karena
dia tidak ingin ayahnya merasa bersalah dan semakin sedih.
Di kediamannya,
Raja Enda-enda juga sangat sedih dengan berita kematian tunangannya. Padahal dia
baru saja menyelesaikan rumah yang akan dipersembahkan kepada calon istrinya
itu. Kesedihannya ini terdengar juga sampai ke Tuan Batara Guru, yang merasa
bersalah telah mengecewakan Raja Enda-enda.
Tuan Batara Guru kemudian memanggil putrinya Deak Parujar dan memintanya menggantikan
kakaknya Sorbajati untuk menikah dengan Raja Enda-enda. Deak Parujar sangat
terkejut mendengar permintaan ayahnya namun tak kuasa menolaknya. Dia pun
menyetujui perjodohan itu dengan satu syarat, bahwa diahanya akan menikahi Raja
Enda-enda setelah dia menyelesaikan tenunan ulos-nya
yang akan dipakainya saat pernikahannya nanti. Tuan Batara Guru
menyampaikan berita pertunangan itu kepada keponakannya Raja Enda-enda. Mendengar
syarat yang diajukan
tunangan barunya, Raja Enda-enda juga menerimanya karena dia sangat
paham bahwa untuk membina sebuah rumah tangga sebaiknya segala sesuatunya dipersiapkan
dengan matang dan adalah tidak baik meninggalkan pekerjaan yang belum tuntas.
Dulu dia pernah meminta Sorbajati
menunggunya menyelesaikan rumahnya, sekarang dia merasa tidaklah adil jika dia
tidak bisa menunggu Deak Parujar menyelesaikan tenunannya.
Deak
Parujar lalu pergi ke bulan untuk menemui paman dan bibinya. Pamannya, Ompu Tuan Mangalabulan,
adalah penguasa malam dan bertahta di bulan, sedangkan bibinya Siboru Panuturi
adalah seorang yang sangat pandai mendongeng. Mereka memiliki seorang putra, Tuan Dipampat Tinggi Sabulan, dan seorang putri, Si Narudang Ulu Begu. Deak Parujar sangat dekat dengan Si Narudang Ulu Begu karena memiliki kesenangan yang sama
akan kain ulos. Si Narudang Ulu Begu biasanya menciptakan benang dengan
warna yang indah yang kemudian akan ditenun Deak
Parujar menjadi lembaran-lembaran ulos.
Dia menceritakan keinginannya untuk menenun sebuah ulos untuk dikenakannya pada saat pernikahannya nanti. Si Narudang Ulu Begu sangat senang mendengar berita ini. Dia lalu
memberikan tujuh gulung benang yang
terindah miliknya kepada sepupunya itu seraya mengingatkan cara menenun benang
istimewa itu. Satu gulungan baru hanya boleh dibuka jikasatu gulungan sebelumnya
sudah selesai ditenun. Sepupunya itu menyampaikan harapannya agar pernikahan
itu akan dilangsungkan secepatnya.Deak Parujar ingin menceritakan keengganannya untuk
menikahi Raja Enda-enda, namun melihat kebahagiaan Si Narudang Ulu Begu dengan berita perjodohannya membuat Deak
Parujar mengurungkan niatnya. Dia pun mengucapkan terima kasih dan pamit kembali
ke rumahnya.
Hari demi hari berlalu namun tenunannya tak kunjung selesai. Setiap
kali Ayahnya bertanya mengapa sangat lambat dibanding biasanya, Deak
Parujar mengatakan bahwa tenunannya kali ini sangatlah istimewa untuk dipakai
pada saat istimewa juga. Padahal sebenarnya setiap kali dia selesai menenun satu gulungan benangnya, Deak
Parujar membukanya lagi di saat malam hari untuk kemudian ditenunnya kembali
keesokan harinya. Namun suatu hari ibunya, Siboru Pareme, melihat apa yang
dilakukan putri bungsunya itu. Dia menasihati Deak Parujar agar tidak
mempermainkan perasaan Raja Enda-enda yang sudah sabar menunggu untuk
meminangnya hingga tenunannya selesai. Deak Parujar merasa tidak enak hati. Dia
memang enggan untuk menikahi Raja
Enda-enda, namun lebih enggan lagi jika membuat malu kedua orang tuanya. Dia lalu
meminta maaf kepada ibunya dan berjanji akan menyelesaikan tenunannya
secepatnya. Hari itu dia menyelesaikan gulungan pertama benangnya lalu pergi
tidur tanpa membuka tenunan itu lagi seperti yang dilakukannya selama ini.
Keesokan harinya ia membuka gulungan kedua dan pergi tidur setelah
menyelesaikannya. Demikian ia lakukan setiap hari sampai dengan gulungan benang
keempat.
Pada hari kelima dia melihat hasil tenunannya yang sungguh
indah. Sedikit merasa putus asa bahwa tak ada gunanya lagi untuk memperlama
tenunnya agar selesai, dia membuka ketiga gulungan sisa benangnya sekaligus.
Benang benang itu sangat indah dan berwarna berwarna merah, hitam, dan putih. Ketiga
warna ini di kemudian hari akan dikenal sebagai benang Manalu. Deak Parujar sangat kagum
dengan keindahan ketiga benang itusampai-sampai dia tak sadar bahwa benang-benang
itu saling menjalin satu dengan lainnya sambil terus terurai menjauh dari Deak
Parujar.
Ketika dia
sadar, ujung benang itu sudah tidak terlihat lagi. Maka dia mengikat ujung
benang yang dipegangnya ke alat tenunnya dan mulai mengikuti arah ujung benang
satunya lagi. Dia berjalan terus mengikuti benang itu sampai tiba di bibir
jurang. Benang itu terurai sedemikian panjang sampai ke dalam jurang tersebut. Deak
Parujar belum pernah ke tempat itu, tapi dia tahu bahwa itu adalah wilayah yang
berbeda dengan tempat tinggalnya. Dia melihat hamparan air yang sangat luas
dengan ombak yang menggulung-gulung. Deak Parujar belum pernah melihat hal
seindah itu. Tempat itu adalah Kerajaan Tonga.
Dia ingin
melihatnya lebih dekat lalu memutuskan untuk turun sebentar saja. Dia tahu
bahwa para penghuni ketiga kerajaan tidak boleh memasuki kerajaan lain. Tapi rasa
ingin tahunya membuatnya lupa akan peraturan itu. Dengan berpegang ke jalinan
ketiga benangnya, Deak Parujar perlahan-lahan turun ke Kerajaan Tonga. Saat itu
juga terdengar suara petir menggelegar pertanda telah ada yang melanggar
peraturan batas wilayah ketiga kerajaan. Tuan Batara Guru sangat murka dengan pelanggaran yang dilakukan putrinya
dan memutuskan untuk tidak akan memohon kepada penguasa Kerajaan Tonga untuk
membuka pintu penghubung ke Kerajaan Ginjang.
Deak
Parujar masih bergelantungan di benangnya ketika diasadar tidak ada tempat
berpijak di Kerajaan Tonga. Seluruh Kerajaan Tonga ternyata ditutupi air. Dialalu
kembali memanjat benangnya untuk kembali ke Kerajaan Ginjang. Tapi apa daya
pintu Kerajaan Ginjang sudah tertutup baginya. Dia menangis meraung-raung
memanggil kedua orangtuanya, tapi usahanya sia-sia. Ayahnya
masih murka meski ibunya sudah mencoba membujuknya untuk mengampuni putrinya.
Dengan
penuh penyesalan dan air mata, Deak Parujar memohon ampun kepada ayahnya. Namun
Tuan Batara Guru tidak bergeming. Ibunya, Siboru Pareme merasa
iba dengan putrinya yang bergelantungan di benang itu. Dia lalu mengutus
ajudannya bernama Leang-leang Mandi untuk memberi segenggam tanah dari Kerajaan
Ginjang kepada putrinya. Tanah itu sudah diberi anugerah oleh Siboru Pareme
dimana ketika tanah itu dilempar ke lautan maka tanah itu akan bertambah
berkali lipat. Begitu juga tanah yang baru terbentuk jika dilempar lagi akan
bertambah berkali lipat pula. Tanah itu hanya akan berhenti berlipat ganda jika
lautan itu sudah tertutup sepenuhnya.
Demikianlah
Deak Parujar terus melemparkan tanah pemberian ibunya sampai tercipta daratan
yang semakin luas dan akhirnya menutupi semua permukaan air di Kerajaan Tonga.
Di daratan itu tumbuh pula berbagai macam tanaman, kecil dan besar, semua itu
adalah anugerah dari sang ibu agar putrinya beroleh sumber makanan selama di Kerajaan
Tonga. Deak Parujar sangat bersyukur atas kemurahan hati ibunya.
Sementara
itu lagi-lagi Raja Enda-enda mendapat kabar bahwa tunangannya sudah pergi
meninggalkan dia beserta seluruh Kerajaan Ginjang ke KerajaanTonga. Dia sangat
sedih dan hanya berdiam diri di rumah yang dibangunnya untuk pernikahan yang
sudah dinanti-nantinya. Dia juga merasa sangat kecewa dengan Deak Parujar yang
meninggalkan Kerajaan Ginjang dan mulai merasa bahwa sebenarnya putri itu tidak
ingin menikah dengannya. Dia memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang
tunangannya itu dan melanjutkan hidupnya mempelajari dan berlatih membuat
ukiran gorga yang lebih baik dari
sebelumnya.
Setelah melewati
beberapa masa di Kerajaan Tonga, sang putri mulai merasa jenuh dengan kesendiriannya.
Dia teringat dengan kasih sayang ayah dan ibunya, kedua kakaknya yang senantiasa
melindunginya, sepupunya yang sering bermain dengannya untuk memilih-milih
benang dan mencari motif-motif baru untuk tenunannya. Dia bahkan teringat
dengan Raja Enda-enda, tunangan yang belum pernah dikenalnya. Lalu dia teringat
dengan untaian benangnya yang masih terkait dengan alat tenunnya di Kerajaan
Ginjang. Untuk menghilangkan kesedihan dan kesepiannya, Deak Parujar memutuskan
untuk bertenun kembali. Diamulai menggulung sisa benangnya, menariknya sampai
ujung benang-benang itu terputus dari Kerajaan Ginjang dan menempah peralatan
tenun baru dari tanaman-tanaman yang ada. Dalam waktu sekejap peralatan
tenunnya sudah selesai dan benang tenun sudah ditata, siap untuk ditenun.
Ketika
sedang asik bertenun tiba-tiba dia merasa daratan dibawahnya berguncang hebat. Daratannya
mulai terbelah dan air pun memancar dari dalam tanah dan masuk ke daratan. Air
itu mulai menutupi daratan yang sudah susah payah dibentuknya. Untuk mencegah
air menutupi semua daratannya, Deak Parujar mulai mengambil tanah di sekitarnya
dan menimbunnya pada satu tempat. Demikian terus dilakukannya sampai timbunan
itu makin lama makin tinggi. Dia terus menimbun sampai terbentuk sebuah bukit
dimana dia berusaha menyelamatkan diri. Ketika guncangan itu berakhir, air pun
surut tapi menyisakan genangan air di sekeliling timbunan tanah tempat dia
berdiri. Genangan
air itu di masa depan akan dikenal dengan Danau Toba. Daratan di sekelilingnya
pun sudah berubah bentuknya dari yang tadinya rata menjadi bergelombang
membentuk gunung dan jurang.
Deak
Parujar bertanya-tanya apa kiranya yang mengakibatkan guncangan maha dahsyat
itu.Di seberang genangan air yang mengelilinginya, dia melihat tanah yang
berliuk-liuk seolah ada yang baru saja membentuknya. Dia kemudian melempar
sebagian tanah tempatnya berpijak ke genangan air yang sudah mengelilinginya.
Setelah tanah itu dirasanya cukup untuk menjembataninya melewati genangan air
itu, dia pun berjalan mengikuti liukan tanah itu. Berabad-abad kemudian tanah
yang berliuk itu akan dikenal sebagai jalan Tele dan tanah penyeberangan Deak
Parujar sebagai Tano Ponggol yang menghubungkan Pulau Samosir dengan daratan
Pulau Sumatera.
Deak
Parujar terus berjalan mengikuti liukan tanah lalu melihat sosok naga besar
yang sedang menjalar di depannya. Dia adalah Naga Padoha yang angkuh dan perkasa.
Badannya besar, kulitnya dilapisi sisik berwarna perak yang berkilauan. Sisiknya
sekuat baja sehingga tak ada satupun senjata yang bisa menembus kulitnya. Matanya
berwarna kuning secerah matahari dan mampu melihat apapun di hadapannya bahkan
di jarak yang sangat jauh. Sepasang taring besar bertengger diantara deretan
giginya yang tajam tersusun rapi namun mengerikan.
Dengan rasa
ingin tahu yang besar, Sang putri terus mengikutinya. Naga Padoha sadar ada
yang mengikutinya, dia lalu mengibaskan ekornya demikian kuatnya sampai tanah
terbelah. Tempat ini kemudian akan dikenal dengan nama Sipintu-pintu dengan jalan
yang berkelok bekas liukan Naga Padoha dengan jurang yang dalam di satu sisinya.
Tanpa
menoleh ke belakang, dengan suara menggelegar Naga Padoha bertanya siapa yang telah
berani mengikutinya. Dengan gemetar Deak Parujar menjawab bahwa dia adalah
putri Tuan Batara Guru yang sudah
menciptakan daratan di Kerajaan Tonga dan menanyakan apa gerangan yang membuat
daratannya berguncang hingga membentuk gunung dan jurang. Dengan geram Naga
Padoha mengatakan bahwa dialah yang telah membuat guncangan itu. Dia
mengeluhkan betapa timbunan-timbunan tanah itu telah mengganggunya. Selama ini dia
bebas berenang di lautan luas namun sekarang menjadi terganggu karena adanya daratan
itu.
Deak
Parujar meminta maaf dan mengatakan bahwa itu adalah perbuatannya yang
semata-mata dilakukan agar dia bisa tinggal di Kerajaan Tonga akibat kecerobohannya
yang sudah melanggar batas wilayah dengan meninggalkan Kerajaan Ginjang. Naga
Padoha semakin marah karena merasa Deak Parujar sudah begitu egois membangun tempat
tinggal untuk dirinya sendiri dengan mengganggu tempat tinggal orang lain.Dengan
mengeluarkan taring tajamnya dia berbalik dan bersiap untuk menyerang, namun
seketika dia mengurungkan niatnya. Dia terpukau dengan sosok cantik di
hadapannya. Deak Parujar merasa takut melihat sosok Naga Padoha yang sudah siap
menyerang, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukannya. Dengan mengumpulkan
sisa keberaniannya dia maju selangkah dan berkata bahwa jika Naga Padoha berani
menyerangnya maka dia akan berhadapan dengan Tuan Sori Mahummat dan Datu Tantan
Debata Guru Mulia, kedua kakaknya yang saktilagi perkasa. Naga Padoha terkekeh
dan mengatakan bahwa kedua kakaknya itu tidak akan meninggalkan Kerajaan
Ginjang hanya untuk menolong adiknya yang sudah melanggar peraturan batas
wilayah. Deak Parujar meringis teringat kecerobohannya.
Tapi Deak
Parujar yang cerdik tidak kehabisan akal, dia sadar bahwa dia harus menjalin
pertemanan dengan Naga Padoha agar bisa
selamat dari kemarahannya. Dia bertanya apa gerangan yang bisa dilakukannya
sebagai permintaan maaf. Naga Padoha tersenyum memamerkan deretan gigi-gigi
runcingnya. Dia lalu mengatakan bahwa dia akan memaafkan hanya jika Deak Parujar mau menemaninya
melakukan perjalanan mencari lautan. Deak Parujar pun menyetujuinya. Mereka pun
memulai perjalanan ke arah Barat, menuju ke daerah yang akan dikenal sebagai
Sibolga.
Di tengah
perjalanan, Naga Padoha menanyakan apa gerangan yang membuat Deak Parujar
sampai melanggar batas wilayah kerajaan. Dengan sedih dia menceritakan
bagaimana dia telah dijodohkan oleh ayahnya, keengganannya untuk menikahi
tunangannya, dan kecerobohannya mengikuti keingintahuannya dengan melupakan
peraturan batas wilayah. Dia menceritakan rasa sesalnya dan betapa dia
merindukan rumah dan keluarganya. Naga Padoha menghiburnya dengan mengatakan
bahwa Deak Parujar tidak perlu bersedih lagi
karena sekarang ada dia yang akan menemaninya di Kerajaan Tonga.
Selama perjalanan, Deak Parujar sering kali menunjukan
kebolehannya dalam berburu dan memasak. Keceriaannya membuat Naga Padoha turut
senang juga. Semakin lama Naga Padoha semakin mengagumi keberanian dan
keterampilan Deak Parujar. Dia lalu bermaksud akan membawa Deak Parujar ke
lautan dan menjadikannya sebagai istri. Naga Padoha
lalu melamarnya namun Deak Parujar menolak dan mengingatkan bahwa perjanjian
mereka hanyalah menemani perjalanan Naga Padoha menuju lautan. Naga Padoha mengabaikan
penolakan Deak Parujar. Dia mulai menyusun siasat untuk membawa paksa Deak
Parujar setibanya mereka di lautan.
Pada suatu malam ketika sedang terlelap tidur, Deak Parujar bermimpi
bertemu dengan ibunya. Ibunya mengatakan bahwa Deak Parujar harus segera
menghabisi Naga Padoha karena bermaksud akan menikahinya secara paksa. Deak
Parujar menolak untuk membunuh Naga Padoha karena sudah berjanji akan menemani
perjalanannya menuju lautan.
Malam selanjutnya, Deak Parujar bermimpi lagi. Kali ini ibunya
memberikan rantai, tombak, dan pedang. Dia berpesan agar Deak Parujar segera
merantai Naga Padoha, menancapkan tombak ke tanah dan mengkaitkan ujung rantai
pengikat ke tombak, lalu menghujamkan pedang ke jantung sang Naga. Ketika terbangun, Deak Parujar menemukan ketiga benda dalam
mimpinya terletak di samping peraduannya. Dia tidak ingin membunuh Naga Padoha,
namun untuk menjaga amanah ibunya yang disampaikan melalui mimpi, Deak Parujar
menyimpan ketiga benda pusaka itu dan turut membawanya dalam perjalanannya
menemani Naga Padoha.
Ketika aroma laut sudah tercium oleh
Naga Padoha, dia kembali menyampaikan niatnya memperistrikan Deak Parujar.
Namun lamaran itu lagi-lagi ditolak. Sang Naga semakin gelisah dan kehabisan
akal. Dia mulai mengancam Deak Parujar bahwa jika masih terus menolak, Naga
Padoha akan memangsanya. Deak Parujar terkejut namun mengatakan bahwa Naga
Padoha tidak akan memangsanya karena masih membutuhkan teman seperjalanan.
Bermaksud menakut-nakuti Deak Parujar agar mau menerima lamarannya, Naga Padoha
mengeluarkan taring dan menyerang ke arah Deak Parujar. Dengan suaranya yang
membahana, Naga Padoha mengatakan bahwa Deak Parujar tidak punya pilihan lain
selain menerima pinangannya.
Deak Parujar mengatakan bahwa dia tidak akan menerima pinangan Naga Padoha karena sudah terikat dengan Raja Enda-enda
di Kerajaan Ginjang. Naga Padoha semakin geram dan mengatakan bahwa itu
hanyalah omong kosong. Bahwa Deak Parujar sebenarnya tidak mencintai
tunangannya itu sampai meninggalkan orangtua dan rumahnya. Bahwa orangtuanya
tidaklah terlalu berarti baginya sehingga memilih mengabaikan perjodohan yang
telah diatur untuknya.
Deak Parujar gemetar karena marah. Dia marah karena sebagian tuduhan Naga
Padoha adalah benar adanya. Lalu dengan kemarahannya dia mengambil ketiga benda
pusakanya. Pertama dia mengayun-ayun rantainya di udara lalu melemparkannya ke
Naga Padoha. Rantai itu langsung melilit sang Naga yang kemudian meronta-ronta
mencoba meloloskan diri. Masih dengan amarahnya, Deak parujar mengambil tombak
dan menangkap ujung rantai yang melilit Naga Padoha lalu menancapkannya ke
tanah. Sang Naga meraung karena tidak bisa meloloskan diri dari rantai pusaka.
Deak parujar kemudian mengambil pedang dan menghunusnya. Dia berlari mendekati
Naga Padoha, bermaksud membunuhnya dengan menghujam jantungnya. Namun persis
disaat pedangnya hampir mengenai jantung Naga Padoha, Deak Parujar teringat
akan perlakuannya yang mengganggu tempat tinggal sang Naga. Pedang itu kemudian
melenceng menghujam leher Naga Padoha. Seketika terdengar raungan yang sangat
menyakitkan. Deak Parujar menangis menyesali perbuatannya. Dia tidak ingin
menyakiti sang Naga, namun emosinya telah membutakannya.
Naga Padoha melihat perubahan sikap
Deak Parujar dan dengan nafas yang tersengal dia meminta maaf atas perlakuan
kasar sebelumnya kepada Deak Parujar. Sang Naga mengatakan bahwa jika Deak
Parujar juga tidak mencintainya sama seperti Raja Enda-enda, tidaklah adil jika
menjadikan tunangannya itu sebagai alasan untuk menolak sang Naga.
Deak Parujar menangis dan berteriak bahwa teryata dia mencintai tunangannya meski belum pernah
bertemu dengannya. Bahwa meskipun dia telah mengecewakan Raja Enda-enda,
tunangannya itu tidak membalaskan dendam kepadanya maupun keluarganya. Ia berkata bahwa orang berhati mulia seperti itu
tentulah sangat berharga, dan betapa dia menyesal tidak akan pernah bertemu
dengan tunangannya itu. Sedemikian kerasnya dia berteriak sampai Raja Enda-enda
bisa mendengarnya di Kerajaan Ginjang.
Raja
Enda-enda terkejut mendengar pernyataan Deak Parujar. Selama ini dia berpikir
bahwa tunangannya itu sangat tidak menyukainya hingga pergi ke Kerajaan Tonga.
Tidak mau merasakan rencana pernikahannya gagal lagi, kali ini dia ingin
memastikannya secara langsung. Diapun memilih melanggar peraturan Tuan Batara Guru dengan turun ke Kerajaan Tonga untuk menemui tunangannya itu. Seiring
dengan gelegar petir di Kerajaan Ginjang, Raja Enda-enda muncul di hadapan Deak
Parujardan memperkenalkan dirinya.
Sang Putri
terkejut melihat sosok rupawan yang memperkenalkan diri sebagai Raja Enda-enda,
tunangannya.Dia tidak percaya bahwa yang dihadapannya adalah Raja Enda-enda
yang pernah digambarkan kakak kembarnya sebagai seekor kadal. Dia menuduh sang Raja
adalah orang lain yang menyamar hanya untuk menipunya agar mau menerima
pinangan Raja Enda-enda. Sang Raja bertanya kenapa dia harus berbuat sedemikian
rupa. Sang putri mulai menceritakan pengalaman kakaknya dahulu yang diam-diam
pergi ke rumah sang Raja untuk mengetahui rupanya namun menjadi kecewa karena
yang dilihatnya adalah sosok menyerupai kadal. Raja Enda-enda kaget bukan
kepalang namun berusaha untuk tetap tenang. Dia lalu menjelaskan bahwa sesekali
diamemang berubah wujud agar bisa mengukir dinding rumah yang dibangunnya.
Dinding itu sedemikian miring sehingga untuk membentuk ukiran gorgadia harus
berubah menjadi kadal sehingga dengan merayap dia bisa meneruskan ukirannya.
Namun sesungguhnya wujudnya yang sekarang adalah wujud sebenarnya.
Deak
Parujar tertegun dan menjadi malu dengan tuduhannya. Dia
kemudian meminta maaf kepada sang Raja. Raja Enda-enda memafkannya dan
menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk meminang Deak Parujar karena
mendengar pernyataan sang Putri beberapa saat sebelumnya. Terpesona dengan
sosoknya yang rupawan serta tutur katanya yang sopan, sang Putri pun menerima
pinangan sang Raja.
Naga Padoha lalu mengatakan tidak akan mengganggu lagi Deak Parujar. Dengan kesedihannya kehilangan Wanita yang dicintainya, Naga Padoha
memilih akan berdiam di dalam tanah yang diciptakan Deak Parujar dan akan
selalu menjaganya. Setelah mengatakannya, tiba-tiba tanah terbelah dan menelan
tubuh sang Naga. Tanah itu membentuk sebuah lembah yang kemudian akan dikenal
sebagai Rura Silindung. Deak Parujar
merasa sedih harus kehilangan teman yang baru dikenalnya itu.
Saat itu Kerajaan
Tonga baru saja mulai gelap, namun rembulan sudah memperlihatkan dirinya, lebih
cepat dari hari-hari biasanya. Sebenarnya itu adalah ulah pamannya, Ompu Tuan Mangalabulan,
yang atas desakan putrinya, Si
Narudang Ulu Begu, sepupu kesayangan Deak Parujar, membawa bulan
lebih awal. Sepupunya itu ingin melihat masa dimana akhirnya Deak Parujar
bertemu langsung dengan tunangannya, Raja Enda-enda. Betapa senang hati Si Narudang Ulu Begu melihat sepupu kesayangannya menerima
pinangan sang Raja. Disaksikan semua penghuni Kerajaan Ginjang, Kerajaan Tonga,
bahkan Kerajaan Toru, Raja Enda-enda pun menikahi Deak Parujar.
Sang Raja kemudian
membangun rumahnya yang sangat indah sementara istrinya mulai menenun ulos yang telah berkali-kali tertunda
diselesaikannya. Ketika rumahnya sudah berdiri, Deak Parujar sangat senang melihatnya.
Dia sangat senang dengan ukiran-ukiran maha indah karya suaminya.
Dia lalu
menyerahkan selembar ulos yang baru selesai ditenun kepada suaminya sebagai hadiah.
Melihat tenunan istrinya yang sangat indah, Raja Enda-enda pun memutuskan untuk
mewarnai ukiran gorganya sama seperti warna tenunan itu, yaitu merah, putih,
dan hitam. Begitulah mereka bekerja bersama-sama dimana Deak Parujar bertenun
di dekat tangga rumah sambil menemani suaminya yang berubah wujud menjadi kadal
mengukir gorga di dinding rumah
mereka.
Setelah
beberapa lama Deak Parujar melahirkan sepasang putra dan putri kembar yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Itam Manisia. Mereka hidup bahagia
di Kerajaan Tonga bahkan sampai kedua anaknya beranjak remaja.
Sementara itu di Kerajaan Ginjang, Siboru Pareme sangat
merindukan Deak Parujar
dan memohon kepada suaminya agar mau memaafkan putrinya itu. Tuan Batara Guru
juga sebenarnya sudah merindukan putrinya itu sejak lama. Ditambah lagi
keinginannya untuk melihat kedua cucunya membuat sang Raja mencabut hukumannya
dan memperbolehkan Deak
Parujar beserta semua keluarganya kembali ke Kerajaan Ginjang. Akan
tetapi karena kedua anaknya dilahirkan di Kerajaan Tonga, tubuhnya tidak mampu
menembus pintu pembatas Kerajaan Ginjang. Betapa sedih hati Deak Parujar dan Raja
Enda-enda. Tetapi kedua anaknya menenteramkan hati kedua orangtuanya dengan
berkata bahwa untuk sementara mereka akan menjaga Kerajaan Tonga, dan akan
selalu mencari cara untuk menanggalkan raga yang mengikat wujud mereka sebagai
penghuni sejati Kerajaan Ginjang. Tuan Batara Guru memberikan
jalan bagi mereka bahwa jika mereka melakukan perbuatan baik semasa tinggal di Kerajaan
Tonga maka mereka akan kembali ke Kerajaan Ginjang, akan tetapi jika mereka
melakukan perbuatan keji, maka yang akan menerima mereka adalah Kerajaan Toru.
Demikianlah
Raja Ihat Manisia dan Itam Manisia tinggal beserta keturunannya di Kerajaan
Tonga dan meneruskan
keterampilan ayah dan ibunya dalam bertenun ulos
dan mengukir gorga.
Sementara
itu Naga Padoha yang terpasung di dalam tanah merasa
sangat sedih karena tidak berhasil mendapatkan cinta dari Deak
Parujar. Dia memilih tidur untuk melupakan kesedihannya
itu. Namun sesekali dia terbangun jika ada ulah
manusia di Kerajaan Tonga yang merusak alam. Dan jika dia terbangun, dia akan
menggeliat dalam ikatan rantainya
untuk mengingatkan mereka agar tidak merusak daratan yang diciptakan oleh
wanita yang dicintainya. Itulah yang menyebabkan gempa di Kerajaan Tonga. Semakin banyak kerusakan yang terjadi maka
semakin kuat pula gempa yang ditimbulkan sang Naga.
TOKOH
CERITA
- Tuan Batara Guru; dan istrinya -- Raja
- Siboru Pareme; anak-anaknya -- Permaisuri
- Tuan Sori Mahummat -- Panglima
- Datu Tantan Debata Guru Mulia -- Ulubalang
- Sorbajati -- Putri
- Deak Parujar -- Putri
- Ompu Tuan Mangalabulan; dan istrinya – Penguasa Malam
- Siboru Panuturi; anak-anaknya – Penguasa mimpi
- Tuan Dipampat Tinggi Sabulan -- Panglima
- Si Narudang Ulu Begu -- Putri
- Raja Enda-enda -- Seniman Bangunan (Arsitek)
- Naga Padoha – Pertapa/ Pengelana
- Raja Ihat Manisia – Manusia (laki-laki) pertama
- Itam Manisia – Manusia (perempuan) pertama
- Leang-leang Mandi -- Kurir
** Cerita ini adalah cerita yang saya sertakan dalam Lomba Tulis Cerita Rakyat tahun 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang saya kirimkan tanggal 20 Agustus 2015 (tidak menang hehehe.... Kudu belajar nulis nih.. )
Menarik ceritanya kak
BalasHapusMauliate, dek :)
Hapus