Jumat, 27 November 2015

Kisah Gorga dan Ulos



Alkisah ketika hanya terdapat tiga kerajaan di dunia ini yaitu Ginjang, Tonga, dan Toru. Para penghuni masing-masing kerajaan tidak boleh memasuki kerajaan yang bukan wilayahnya tanpa ada izin terlebih dahulu dari pihak kerajaan tempatnya tinggal dan dari pihak kerajaan yang akan dimasukinya. Jika ada yang melanggarnya maka yang memasuki kerajaan lain itu akan terjebak selamanya di kerajaan yang dimasuki. Si pelaku hanya diperbolehkan kembali hanya jika kedua pihak pemilik kerajaan mengadakan pertemuan dan sepakat untuk mengembalikan si pelaku dengan beberapa syarat yang akan sangat memberatkan si pelaku. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran kepada si pelaku agar menghargai peraturan yang sudah disepakati oleh ketiga penguasa kerajaan tersebut.

Di kerajaan Ginjang tinggallah Tuan Batara Guru dan istrinya Siboru Pareme yang memiliki dua orang putra dan sepasang putri kembar. Kedua putranya merupakan pria yang perkasa dan sakti bernama Tuan Sori Mahummat dan Datu Tantan Debata Guru Mulia, sedangkan putri kembarnya bernama Sorbajati dan Deak Parujar. Kedua putrinya sangat rajin dan berbakat. Sorbajati sangat menyenangi musik dan menari tor-tor, sedangkan Deak Parujar senang menenun ulos. Pada saat upacara atau pesta, keduanya sering dimintakan untuk mempertunjukkan kebolehannya masing-masing. Sorbajati akan menari dengan sangat lincah sambil mengenakan lembaran ulos hasil tenunan adiknya, Deak Parujar.

Ketika beranjak dewasa, Sorbajati dipanggil oleh ayahnya. Sang Ayah menyampaikan keinginannya untuk menunangkan putrinya itu dengan keponakannya bernama Raja Enda-enda. Raja ini sangat terkenal karena keahliannya membangun rumah dengan ukiran-ukiran yang sangat rumit dan indah yang disebut dengan gorga. Kepiawaiannya dalam membuat gorga itu membuatnya dikenal juga sebagai Tuan Ruma Gorga. Sorbajati belum pernah bertemu dengan sepupunya itu, namun karena dia percaya bahwa pilihan ayahnya adalah yang terbaik baginya, dia pun menyetujui pertunangan itu. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, pernikahan akan dilangsungkan setelah Raja Enda-enda menyelesaikan sebuah rumah untuk ditempati bersama istrinya nanti. 

Sorbajati yang mendengar bahwa calon suaminya adalah ahli membangun rumah, ingin mengetahui bagaimana hasil karyanya. Bersama dengan adiknya Deak Parujar, mereka pergi mengunjungi rumah-rumah yang dibangun oleh Raja Enda-enda. Kedua putri itu sangat terkesan dengan karya-karya Sang Raja yang sangat indah. Sorbajati tidak sabar ingin bertemu dengan tunangannya. Dia berpikir bahwa seseorang yang mampu menghasilkan karya seindah ini tentulah seorang yang berjiwa seni tinggi dan sangat tampan rupawan. Sorbajati pun semakin penasaran karena meskipun Raja Enda-enda adalah seorang pandai kayu yang tersohor, namun tak seorang pun mengaku pernah melihatnya. Rasa penasarannya membuat Sorbajati merengek kepada ayahnya agar segera dipertemukan dengan tunangannya. Tuan Batara Guru menyampaikan undangannya kepada Raja Enda-enda untuk berkunjung ke kediamannya, namun karena Raja Enda-enda masih mengerjakan rumah bagi keluarga barunya nanti, dia tidak bisa memenuhi panggilan Tuan Batara Guru. Dia mengatakan bahwa segera setelah rumahnya selesai, dia akan berkunjung ke rumah Tuan Batara Guru untuk meminang putrinya. Sang Putri merasa sedih mendengar jawaban tunangannya. Ayahnya memintanya untuk bersabar sebentar lagi. Akan tetapi Sorbajati tidak bisa menyingkirkan rasa keingintahuannya untuk bertemu dengan tunangannya.

Suatu pagi yang cerah tanpa sengaja sang Putri mendengar pembicaraan ayahnya dengan kedua kakaknya tentang Raja Enda-enda. Kedua kakaknya sangat menghormati sepupunya itu dan berkata akan mengunjunginya di rumah Pamannya. Tapi sang Ayah mengatakan bahwa calon menantunya itu tidak sedang berada di rumah orangtuanya, melainkan di tempat lain dimana dia sedang membangun rumah barunya. Kedua kakaknya bertanya dimana tempatnya agar mereka bisa bertemu dan berbincang. Sang Ayah kemudian memberitahu namun melarang keduanya untuk mengunjungi sepupunya itu. Ayahnya menyarankan agar tidak menggangu Raja Enda-enda selama dia melakukan pekerjaannya. Kedua kakaknya menurut dan berjanji tidak akan mengganggunya. Mereka tidak tahu bahwa Sorbajati juga mendengar pembicaraan itu.

Sore hari setelah meyelesaikan pekerjaan rumahnya, Sorbajati diam-diam pergi menuju kediaman Raja Enda-enda. Dia menempuh perjalanan yang cukup jauh sehingga ketika tiba di tujuannya, hari sudah malam. Bulan bersinar dengan sangat cerah sehingga dia masih bisa melihat dengan jelas ada sebuah rumah yang sangat indah disana. Atapnya menjulang tinggi dengan dinding yang tersusun dari lembaran-lembaran kayu lebar. Pada bagian bawahnya tersusun tonggak-tonggak kayu yang menyokong rumah itu. Dia juga bisa melihat undakan kayu di bagian depan rumah, seolah undakan itu menembus lantai rumah. Sebagian dinding depan rumah itu sudah dihiasi ukiran gorga yang sangat indah.

Dari balik tanaman bambu tempat persembunyiannya Sorbajati mencari-cari dimana kiranya tunangannya berada. Lalu dari arah dinding yang dihiasi gorga dia seolah mendengar suara menyerupai suara pahat. Dia mencari-cari berharap bisa melihat sosok Raja Enda-enda, namun betapa terkejutnya dia melihat bahwa yang sedang mengukir gorga di dinding rumah itu adalah sosok ilik (kadal). Sorbajati tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Betapa sedihnya dia melihat bahwa sosok tunangan yang diimpikannya selama ini ternyata adalah seekor kadal. Dia berdiri dari tempat persembunyiannya dan langsung berlari pulang membawa kekecewaan yang sangat mendalam di hatinya.

Sorbajati kini hanya bisa bersedu sedan, meratapi nasibnya yang akan menikahi seekor kadal. Dia juga kecewa betapa ayahnya tega menjodohkannya dengan mahluk seperti itu. Seharian dia hanya mengurung diri di kamarnya, tidak ingin makan dan minum. Bahkan dia tidak mempedulikan tenunan ulos yang baru saja diselesaikan adiknya. Tuan Batara Guru dan Siboru Pareme kebingungan melihat tingkah laku putrinya yang tiba-tiba berubah menjadi murung. Mereka menanyakan apa kiranya yang membuat putrinya menjadi sedih begitu. Namun Sorbajati tetap diam seribu bahasa. Bahkan ketika adik kembarnya Deak Parujar membujuknya untuk menceritakan apa kiranya yang terjadi dengan kakaknya, dia hanya menghela nafas dan memalingkan wajahnya. Adiknya harus membujuknya berkali-kali sampai akhirnya Sorbajati menceritakan apa yang dilihatnya pada saat dia pergi diam-diam ke rumah Raja Enda-enda. Deak Parujar terkejut mendengar keberanian kakaknya yang tidak menghiraukan saran ayahnya untuk tidak mendatangi Raja Enda-enda. Namun demikian dia tetap mencoba menghibur kakaknya agar bersabar menghadapi kehidupan baru yang akan dijalaninya tak lama lagi. Sorbajati hanya menghela nafas dan memalingkan wajahnya dari Deak Parujar.
Keesokan harinya Tuan Batara Guru mencoba menghibur putrinya dengan membuat sebuah pesta meriah yang diiringi musik gondang dan uning-uningan. Musik itu sangatlah indah dan lincah dengan perpaduan suara gendang, gong, kecapi, dan seruling. Bahkan semua undangan menari tor-tor mengikuti irama musik yang indah itu. 

Disaat semua undangan sudah larut dalam sukacita tarian, dengan langkah lunglai Sorbajati mendekati pemain gondang yang berada di bagian loteng rumahnya. Orang-orang yang melihatnya berpikir bahwa dia ingin melihat para pemain musik memainkan instrumennya masing-masing. Namun ternyata Sorbajati tiba-tiba melompat dari sana dengan bersumpah bahwa dia lebih memilih terbenam di tanah daripada harus menikahi Raja Enda-enda. Semua hadirin saat itu menjadi histeris panik dan menangisi tubuh Sorbajati yang perlahan diserap tanah. Betapa sedih hati ayah, ibu dan saudara-saudaranya terlebih karena mereka tidak tahu apa penyebab Sorbajati sampai berbuat senekat itu. Hanya Deak Parujar yang tahu apa penyebab kesedihan kakaknya tapi tidak memberitahu kepada siapapun karena dia tidak ingin ayahnya merasa bersalah dan semakin sedih.

Di kediamannya, Raja Enda-enda juga sangat sedih dengan berita kematian tunangannya. Padahal dia baru saja menyelesaikan rumah yang akan dipersembahkan kepada calon istrinya itu. Kesedihannya ini terdengar juga sampai ke Tuan Batara Guru, yang merasa bersalah telah mengecewakan Raja Enda-enda.

Tuan Batara Guru kemudian memanggil putrinya Deak Parujar dan memintanya menggantikan kakaknya Sorbajati untuk menikah dengan Raja Enda-enda. Deak Parujar sangat terkejut mendengar permintaan ayahnya namun tak kuasa menolaknya. Dia pun menyetujui perjodohan itu dengan satu syarat, bahwa diahanya akan menikahi Raja Enda-enda setelah dia menyelesaikan tenunan ulos-nya yang akan dipakainya saat pernikahannya nanti. Tuan Batara Guru menyampaikan berita pertunangan itu kepada keponakannya Raja Enda-enda. Mendengar syarat yang diajukan tunangan barunya, Raja Enda-enda juga menerimanya karena dia sangat paham bahwa untuk membina sebuah rumah tangga sebaiknya segala sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan adalah tidak baik meninggalkan pekerjaan yang belum tuntas. Dulu dia pernah meminta Sorbajati menunggunya menyelesaikan rumahnya, sekarang dia merasa tidaklah adil jika dia tidak bisa menunggu Deak Parujar menyelesaikan tenunannya.

Deak Parujar lalu pergi ke bulan untuk menemui paman dan bibinya. Pamannya, Ompu Tuan Mangalabulan, adalah penguasa malam dan bertahta di bulan, sedangkan bibinya Siboru Panuturi adalah seorang yang sangat pandai mendongeng. Mereka memiliki seorang putra, Tuan Dipampat Tinggi Sabulan, dan seorang putri, Si Narudang Ulu Begu. Deak Parujar sangat dekat dengan Si Narudang Ulu Begu karena memiliki kesenangan yang sama akan kain ulos. Si Narudang Ulu Begu biasanya menciptakan benang dengan warna yang indah yang kemudian akan ditenun Deak Parujar menjadi lembaran-lembaran ulos. Dia menceritakan keinginannya untuk menenun sebuah ulos untuk dikenakannya pada saat pernikahannya nanti. Si Narudang Ulu Begu sangat senang mendengar berita ini. Dia lalu memberikan tujuh gulung benang yang terindah miliknya kepada sepupunya itu seraya mengingatkan cara menenun benang istimewa itu. Satu gulungan baru hanya boleh dibuka jikasatu gulungan sebelumnya sudah selesai ditenun. Sepupunya itu menyampaikan harapannya agar pernikahan itu akan dilangsungkan secepatnya.Deak Parujar ingin menceritakan keengganannya untuk menikahi Raja Enda-enda, namun melihat kebahagiaan Si Narudang Ulu Begu dengan berita perjodohannya membuat Deak Parujar mengurungkan niatnya. Dia pun mengucapkan terima kasih dan pamit kembali ke rumahnya. 

Hari demi hari berlalu namun tenunannya tak kunjung selesai. Setiap kali Ayahnya bertanya mengapa sangat lambat dibanding biasanya, Deak Parujar mengatakan bahwa tenunannya kali ini sangatlah istimewa untuk dipakai pada saat istimewa juga. Padahal sebenarnya setiap kali dia selesai menenun satu gulungan benangnya, Deak Parujar membukanya lagi di saat malam hari untuk kemudian ditenunnya kembali keesokan harinya. Namun suatu hari ibunya, Siboru Pareme, melihat apa yang dilakukan putri bungsunya itu. Dia menasihati Deak Parujar agar tidak mempermainkan perasaan Raja Enda-enda yang sudah sabar menunggu untuk meminangnya hingga tenunannya selesai. Deak Parujar merasa tidak enak hati. Dia memang enggan untuk menikahi  Raja Enda-enda, namun lebih enggan lagi jika membuat malu kedua orang tuanya. Dia lalu meminta maaf kepada ibunya dan berjanji akan menyelesaikan tenunannya secepatnya. Hari itu dia menyelesaikan gulungan pertama benangnya lalu pergi tidur tanpa membuka tenunan itu lagi seperti yang dilakukannya selama ini. Keesokan harinya ia membuka gulungan kedua dan pergi tidur setelah menyelesaikannya. Demikian ia lakukan setiap hari sampai dengan gulungan benang keempat.

Pada hari kelima dia melihat hasil tenunannya yang sungguh indah. Sedikit merasa putus asa bahwa tak ada gunanya lagi untuk memperlama tenunnya agar selesai, dia membuka ketiga gulungan sisa benangnya sekaligus. Benang benang itu sangat indah dan berwarna berwarna merah, hitam, dan putih. Ketiga warna ini di kemudian hari akan dikenal sebagai benang Manalu. Deak Parujar sangat kagum dengan keindahan ketiga benang itusampai-sampai dia tak sadar bahwa benang-benang itu saling menjalin satu dengan lainnya sambil terus terurai menjauh dari Deak Parujar. 
Ketika dia sadar, ujung benang itu sudah tidak terlihat lagi. Maka dia mengikat ujung benang yang dipegangnya ke alat tenunnya dan mulai mengikuti arah ujung benang satunya lagi. Dia berjalan terus mengikuti benang itu sampai tiba di bibir jurang. Benang itu terurai sedemikian panjang sampai ke dalam jurang tersebut. Deak Parujar belum pernah ke tempat itu, tapi dia tahu bahwa itu adalah wilayah yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Dia melihat hamparan air yang sangat luas dengan ombak yang menggulung-gulung. Deak Parujar belum pernah melihat hal seindah itu. Tempat itu adalah Kerajaan Tonga.

Dia ingin melihatnya lebih dekat lalu memutuskan untuk turun sebentar saja. Dia tahu bahwa para penghuni ketiga kerajaan tidak boleh memasuki kerajaan lain. Tapi rasa ingin tahunya membuatnya lupa akan peraturan itu. Dengan berpegang ke jalinan ketiga benangnya, Deak Parujar perlahan-lahan turun ke Kerajaan Tonga. Saat itu juga terdengar suara petir menggelegar pertanda telah ada yang melanggar peraturan batas wilayah ketiga kerajaan. Tuan Batara Guru sangat murka dengan pelanggaran yang dilakukan putrinya dan memutuskan untuk tidak akan memohon kepada penguasa Kerajaan Tonga untuk membuka pintu penghubung ke Kerajaan Ginjang.

Deak Parujar masih bergelantungan di benangnya ketika diasadar tidak ada tempat berpijak di Kerajaan Tonga. Seluruh Kerajaan Tonga ternyata ditutupi air. Dialalu kembali memanjat benangnya untuk kembali ke Kerajaan Ginjang. Tapi apa daya pintu Kerajaan Ginjang sudah tertutup baginya. Dia menangis meraung-raung memanggil kedua orangtuanya, tapi usahanya sia-sia. Ayahnya masih murka meski ibunya sudah mencoba membujuknya untuk mengampuni putrinya. 

Dengan penuh penyesalan dan air mata, Deak Parujar memohon ampun kepada ayahnya. Namun Tuan Batara Guru tidak bergeming. Ibunya, Siboru Pareme merasa iba dengan putrinya yang bergelantungan di benang itu. Dia lalu mengutus ajudannya bernama Leang-leang Mandi untuk memberi segenggam tanah dari Kerajaan Ginjang kepada putrinya. Tanah itu sudah diberi anugerah oleh Siboru Pareme dimana ketika tanah itu dilempar ke lautan maka tanah itu akan bertambah berkali lipat. Begitu juga tanah yang baru terbentuk jika dilempar lagi akan bertambah berkali lipat pula. Tanah itu hanya akan berhenti berlipat ganda jika lautan itu sudah tertutup sepenuhnya.
Demikianlah Deak Parujar terus melemparkan tanah pemberian ibunya sampai tercipta daratan yang semakin luas dan akhirnya menutupi semua permukaan air di Kerajaan Tonga. Di daratan itu tumbuh pula berbagai macam tanaman, kecil dan besar, semua itu adalah anugerah dari sang ibu agar putrinya beroleh sumber makanan selama di Kerajaan Tonga. Deak Parujar sangat bersyukur atas kemurahan hati ibunya. 

Sementara itu lagi-lagi Raja Enda-enda mendapat kabar bahwa tunangannya sudah pergi meninggalkan dia beserta seluruh Kerajaan Ginjang ke KerajaanTonga. Dia sangat sedih dan hanya berdiam diri di rumah yang dibangunnya untuk pernikahan yang sudah dinanti-nantinya. Dia juga merasa sangat kecewa dengan Deak Parujar yang meninggalkan Kerajaan Ginjang dan mulai merasa bahwa sebenarnya putri itu tidak ingin menikah dengannya. Dia memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang tunangannya itu dan melanjutkan hidupnya mempelajari dan berlatih membuat ukiran gorga yang lebih baik dari sebelumnya.

Setelah melewati beberapa masa di Kerajaan Tonga, sang putri mulai merasa jenuh dengan kesendiriannya. Dia teringat dengan kasih sayang ayah dan ibunya, kedua kakaknya yang senantiasa melindunginya, sepupunya yang sering bermain dengannya untuk memilih-milih benang dan mencari motif-motif baru untuk tenunannya. Dia bahkan teringat dengan Raja Enda-enda, tunangan yang belum pernah dikenalnya. Lalu dia teringat dengan untaian benangnya yang masih terkait dengan alat tenunnya di Kerajaan Ginjang. Untuk menghilangkan kesedihan dan kesepiannya, Deak Parujar memutuskan untuk bertenun kembali. Diamulai menggulung sisa benangnya, menariknya sampai ujung benang-benang itu terputus dari Kerajaan Ginjang dan menempah peralatan tenun baru dari tanaman-tanaman yang ada. Dalam waktu sekejap peralatan tenunnya sudah selesai dan benang tenun sudah ditata, siap untuk ditenun. 

Ketika sedang asik bertenun tiba-tiba dia merasa daratan dibawahnya berguncang hebat. Daratannya mulai terbelah dan air pun memancar dari dalam tanah dan masuk ke daratan. Air itu mulai menutupi daratan yang sudah susah payah dibentuknya. Untuk mencegah air menutupi semua daratannya, Deak Parujar mulai mengambil tanah di sekitarnya dan menimbunnya pada satu tempat. Demikian terus dilakukannya sampai timbunan itu makin lama makin tinggi. Dia terus menimbun sampai terbentuk sebuah bukit dimana dia berusaha menyelamatkan diri. Ketika guncangan itu berakhir, air pun surut tapi menyisakan genangan air di sekeliling timbunan tanah tempat dia berdiri. Genangan air itu di masa depan akan dikenal dengan Danau Toba. Daratan di sekelilingnya pun sudah berubah bentuknya dari yang tadinya rata menjadi bergelombang membentuk gunung dan jurang.

Deak Parujar bertanya-tanya apa kiranya yang mengakibatkan guncangan maha dahsyat itu.Di seberang genangan air yang mengelilinginya, dia melihat tanah yang berliuk-liuk seolah ada yang baru saja membentuknya. Dia kemudian melempar sebagian tanah tempatnya berpijak ke genangan air yang sudah mengelilinginya. Setelah tanah itu dirasanya cukup untuk menjembataninya melewati genangan air itu, dia pun berjalan mengikuti liukan tanah itu. Berabad-abad kemudian tanah yang berliuk itu akan dikenal sebagai jalan Tele dan tanah penyeberangan Deak Parujar sebagai Tano Ponggol yang menghubungkan Pulau Samosir dengan daratan Pulau Sumatera.

Deak Parujar terus berjalan mengikuti liukan tanah lalu melihat sosok naga besar yang sedang menjalar di depannya. Dia adalah Naga Padoha yang angkuh dan perkasa. Badannya besar, kulitnya dilapisi sisik berwarna perak yang berkilauan. Sisiknya sekuat baja sehingga tak ada satupun senjata yang bisa menembus kulitnya. Matanya berwarna kuning secerah matahari dan mampu melihat apapun di hadapannya bahkan di jarak yang sangat jauh. Sepasang taring besar bertengger diantara deretan giginya yang tajam tersusun rapi namun mengerikan.

Dengan rasa ingin tahu yang besar, Sang putri terus mengikutinya. Naga Padoha sadar ada yang mengikutinya, dia lalu mengibaskan ekornya demikian kuatnya sampai tanah terbelah. Tempat ini kemudian akan dikenal dengan nama Sipintu-pintu dengan jalan yang berkelok bekas liukan Naga Padoha dengan jurang yang dalam di satu sisinya.

Tanpa menoleh ke belakang, dengan suara menggelegar Naga Padoha bertanya siapa yang telah berani mengikutinya. Dengan gemetar Deak Parujar menjawab bahwa dia adalah putri Tuan Batara Guru yang sudah menciptakan daratan di Kerajaan Tonga dan menanyakan apa gerangan yang membuat daratannya berguncang hingga membentuk gunung dan jurang. Dengan geram Naga Padoha mengatakan bahwa dialah yang telah membuat guncangan itu. Dia mengeluhkan betapa timbunan-timbunan tanah itu telah mengganggunya. Selama ini dia bebas berenang di lautan luas namun sekarang menjadi terganggu karena adanya daratan itu

Deak Parujar meminta maaf dan mengatakan bahwa itu adalah perbuatannya yang semata-mata dilakukan agar dia bisa tinggal di Kerajaan Tonga akibat kecerobohannya yang sudah melanggar batas wilayah dengan meninggalkan Kerajaan Ginjang. Naga Padoha semakin marah karena merasa Deak Parujar sudah begitu egois membangun tempat tinggal untuk dirinya sendiri dengan mengganggu tempat tinggal orang lain.Dengan mengeluarkan taring tajamnya dia berbalik dan bersiap untuk menyerang, namun seketika dia mengurungkan niatnya. Dia terpukau dengan sosok cantik di hadapannya. Deak Parujar merasa takut melihat sosok Naga Padoha yang sudah siap menyerang, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukannya. Dengan mengumpulkan sisa keberaniannya dia maju selangkah dan berkata bahwa jika Naga Padoha berani menyerangnya maka dia akan berhadapan dengan Tuan Sori Mahummat dan Datu Tantan Debata Guru Mulia, kedua kakaknya yang saktilagi perkasa. Naga Padoha terkekeh dan mengatakan bahwa kedua kakaknya itu tidak akan meninggalkan Kerajaan Ginjang hanya untuk menolong adiknya yang sudah melanggar peraturan batas wilayah. Deak Parujar meringis teringat kecerobohannya.

Tapi Deak Parujar yang cerdik tidak kehabisan akal, dia sadar bahwa dia harus menjalin pertemanan dengan Naga Padoha agar bisa selamat dari kemarahannya. Dia bertanya apa gerangan yang bisa dilakukannya sebagai permintaan maaf. Naga Padoha tersenyum memamerkan deretan gigi-gigi runcingnya. Dia lalu mengatakan bahwa dia akan memaafkan hanya jika Deak Parujar mau menemaninya melakukan perjalanan mencari lautan. Deak Parujar pun menyetujuinya. Mereka pun memulai perjalanan ke arah Barat, menuju ke daerah yang akan dikenal sebagai Sibolga.

Di tengah perjalanan, Naga Padoha menanyakan apa gerangan yang membuat Deak Parujar sampai melanggar batas wilayah kerajaan. Dengan sedih dia menceritakan bagaimana dia telah dijodohkan oleh ayahnya, keengganannya untuk menikahi tunangannya, dan kecerobohannya mengikuti keingintahuannya dengan melupakan peraturan batas wilayah. Dia menceritakan rasa sesalnya dan betapa dia merindukan rumah dan keluarganya. Naga Padoha menghiburnya dengan mengatakan bahwa Deak Parujar tidak perlu bersedih lagi karena sekarang ada dia yang akan menemaninya di Kerajaan Tonga. 

Selama perjalanan, Deak Parujar sering kali menunjukan kebolehannya dalam berburu dan memasak. Keceriaannya membuat Naga Padoha turut senang juga. Semakin lama Naga Padoha semakin mengagumi keberanian dan keterampilan Deak Parujar. Dia lalu bermaksud akan membawa Deak Parujar ke lautan dan menjadikannya sebagai istri. Naga Padoha lalu melamarnya namun Deak Parujar menolak dan mengingatkan bahwa perjanjian mereka hanyalah menemani perjalanan Naga Padoha menuju lautan. Naga Padoha mengabaikan penolakan Deak Parujar. Dia mulai menyusun siasat untuk membawa paksa Deak Parujar setibanya mereka di lautan.

Pada suatu malam ketika sedang terlelap tidur, Deak Parujar bermimpi bertemu dengan ibunya. Ibunya mengatakan bahwa Deak Parujar harus segera menghabisi Naga Padoha karena bermaksud akan menikahinya secara paksa. Deak Parujar menolak untuk membunuh Naga Padoha karena sudah berjanji akan menemani perjalanannya menuju lautan.

Malam selanjutnya, Deak Parujar bermimpi lagi. Kali ini ibunya memberikan rantai, tombak, dan pedang. Dia berpesan agar Deak Parujar segera merantai Naga Padoha, menancapkan tombak ke tanah dan mengkaitkan ujung rantai pengikat ke tombak, lalu menghujamkan pedang ke jantung sang Naga. Ketika terbangun, Deak Parujar menemukan ketiga benda dalam mimpinya terletak di samping peraduannya. Dia tidak ingin membunuh Naga Padoha, namun untuk menjaga amanah ibunya yang disampaikan melalui mimpi, Deak Parujar menyimpan ketiga benda pusaka itu dan turut membawanya dalam perjalanannya menemani Naga Padoha.

Ketika aroma laut sudah tercium oleh Naga Padoha, dia kembali menyampaikan niatnya memperistrikan Deak Parujar. Namun lamaran itu lagi-lagi ditolak. Sang Naga semakin gelisah dan kehabisan akal. Dia mulai mengancam Deak Parujar bahwa jika masih terus menolak, Naga Padoha akan memangsanya. Deak Parujar terkejut namun mengatakan bahwa Naga Padoha tidak akan memangsanya karena masih membutuhkan teman seperjalanan. Bermaksud menakut-nakuti Deak Parujar agar mau menerima lamarannya, Naga Padoha mengeluarkan taring dan menyerang ke arah Deak Parujar. Dengan suaranya yang membahana, Naga Padoha mengatakan bahwa Deak Parujar tidak punya pilihan lain selain menerima pinangannya. 

Deak Parujar mengatakan bahwa dia tidak akan menerima pinangan Naga Padoha karena sudah terikat dengan Raja Enda-enda di Kerajaan Ginjang. Naga Padoha semakin geram dan mengatakan bahwa itu hanyalah omong kosong. Bahwa Deak Parujar sebenarnya tidak mencintai tunangannya itu sampai meninggalkan orangtua dan rumahnya. Bahwa orangtuanya tidaklah terlalu berarti baginya sehingga memilih mengabaikan perjodohan yang telah diatur untuknya.

Deak Parujar gemetar karena marah. Dia marah karena sebagian tuduhan Naga Padoha adalah benar adanya. Lalu dengan kemarahannya dia mengambil ketiga benda pusakanya. Pertama dia mengayun-ayun rantainya di udara lalu melemparkannya ke Naga Padoha. Rantai itu langsung melilit sang Naga yang kemudian meronta-ronta mencoba meloloskan diri. Masih dengan amarahnya, Deak parujar mengambil tombak dan menangkap ujung rantai yang melilit Naga Padoha lalu menancapkannya ke tanah. Sang Naga meraung karena tidak bisa meloloskan diri dari rantai pusaka. Deak parujar kemudian mengambil pedang dan menghunusnya. Dia berlari mendekati Naga Padoha, bermaksud membunuhnya dengan menghujam jantungnya. Namun persis disaat pedangnya hampir mengenai jantung Naga Padoha, Deak Parujar teringat akan perlakuannya yang mengganggu tempat tinggal sang Naga. Pedang itu kemudian melenceng menghujam leher Naga Padoha. Seketika terdengar raungan yang sangat menyakitkan. Deak Parujar menangis menyesali perbuatannya. Dia tidak ingin menyakiti sang Naga, namun emosinya telah membutakannya. 

Naga Padoha melihat perubahan sikap Deak Parujar dan dengan nafas yang tersengal dia meminta maaf atas perlakuan kasar sebelumnya kepada Deak Parujar. Sang Naga mengatakan bahwa jika Deak Parujar juga tidak mencintainya sama seperti Raja Enda-enda, tidaklah adil jika menjadikan tunangannya itu sebagai alasan untuk menolak sang Naga.

Deak Parujar menangis dan berteriak bahwa teryata dia mencintai tunangannya meski belum pernah bertemu dengannya. Bahwa meskipun dia telah mengecewakan Raja Enda-enda, tunangannya itu tidak membalaskan dendam kepadanya maupun keluarganya. Ia berkata bahwa orang berhati mulia seperti itu tentulah sangat berharga, dan betapa dia menyesal tidak akan pernah bertemu dengan tunangannya itu. Sedemikian kerasnya dia berteriak sampai Raja Enda-enda bisa mendengarnya di Kerajaan Ginjang.

Raja Enda-enda terkejut mendengar pernyataan Deak Parujar. Selama ini dia berpikir bahwa tunangannya itu sangat tidak menyukainya hingga pergi ke Kerajaan Tonga. Tidak mau merasakan rencana pernikahannya gagal lagi, kali ini dia ingin memastikannya secara langsung. Diapun memilih melanggar peraturan Tuan Batara Guru dengan turun ke Kerajaan Tonga untuk menemui tunangannya itu. Seiring dengan gelegar petir di Kerajaan Ginjang, Raja Enda-enda muncul di hadapan Deak Parujardan memperkenalkan dirinya.

Sang Putri terkejut melihat sosok rupawan yang memperkenalkan diri sebagai Raja Enda-enda, tunangannya.Dia tidak percaya bahwa yang dihadapannya adalah Raja Enda-enda yang pernah digambarkan kakak kembarnya sebagai seekor kadal. Dia menuduh sang Raja adalah orang lain yang menyamar hanya untuk menipunya agar mau menerima pinangan Raja Enda-enda. Sang Raja bertanya kenapa dia harus berbuat sedemikian rupa. Sang putri mulai menceritakan pengalaman kakaknya dahulu yang diam-diam pergi ke rumah sang Raja untuk mengetahui rupanya namun menjadi kecewa karena yang dilihatnya adalah sosok menyerupai kadal. Raja Enda-enda kaget bukan kepalang namun berusaha untuk tetap tenang. Dia lalu menjelaskan bahwa sesekali diamemang berubah wujud agar bisa mengukir dinding rumah yang dibangunnya. Dinding itu sedemikian miring sehingga untuk membentuk ukiran gorgadia harus berubah menjadi kadal sehingga dengan merayap dia bisa meneruskan ukirannya. Namun sesungguhnya wujudnya yang sekarang adalah wujud sebenarnya. 

Deak Parujar tertegun dan menjadi malu dengan tuduhannya. Dia kemudian meminta maaf kepada sang Raja. Raja Enda-enda memafkannya dan menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk meminang Deak Parujar karena mendengar pernyataan sang Putri beberapa saat sebelumnya. Terpesona dengan sosoknya yang rupawan serta tutur katanya yang sopan, sang Putri pun menerima pinangan sang Raja.

Naga Padoha lalu mengatakan tidak akan mengganggu lagi Deak Parujar. Dengan kesedihannya kehilangan Wanita yang dicintainya, Naga Padoha memilih akan berdiam di dalam tanah yang diciptakan Deak Parujar dan akan selalu menjaganya. Setelah mengatakannya, tiba-tiba tanah terbelah dan menelan tubuh sang Naga. Tanah itu membentuk sebuah lembah yang kemudian akan dikenal sebagai Rura Silindung. Deak Parujar merasa sedih harus kehilangan teman yang baru dikenalnya itu.

Saat itu Kerajaan Tonga baru saja mulai gelap, namun rembulan sudah memperlihatkan dirinya, lebih cepat dari hari-hari biasanya. Sebenarnya itu adalah ulah pamannya, Ompu Tuan Mangalabulan, yang atas desakan putrinya, Si Narudang Ulu Begu, sepupu kesayangan Deak Parujar, membawa bulan lebih awal. Sepupunya itu ingin melihat masa dimana akhirnya Deak Parujar bertemu langsung dengan tunangannya, Raja Enda-enda. Betapa senang hati Si Narudang Ulu Begu melihat sepupu kesayangannya menerima pinangan sang Raja. Disaksikan semua penghuni Kerajaan Ginjang, Kerajaan Tonga, bahkan Kerajaan Toru, Raja Enda-enda pun menikahi Deak Parujar. 

Sang Raja kemudian membangun rumahnya yang sangat indah sementara istrinya mulai menenun ulos yang telah berkali-kali tertunda diselesaikannya. Ketika rumahnya sudah berdiri, Deak Parujar sangat senang melihatnya. Dia sangat senang dengan ukiran-ukiran maha indah karya suaminya.
Dia lalu menyerahkan selembar ulos yang baru selesai ditenun kepada suaminya sebagai hadiah. Melihat tenunan istrinya yang sangat indah, Raja Enda-enda pun memutuskan untuk mewarnai ukiran gorganya sama seperti warna tenunan itu, yaitu merah, putih, dan hitam. Begitulah mereka bekerja bersama-sama dimana Deak Parujar bertenun di dekat tangga rumah sambil menemani suaminya yang berubah wujud menjadi kadal mengukir gorga di dinding rumah mereka.

Setelah beberapa lama Deak Parujar melahirkan sepasang putra dan putri kembar yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Itam Manisia. Mereka hidup bahagia di Kerajaan Tonga bahkan sampai kedua anaknya beranjak remaja.

Sementara itu di Kerajaan Ginjang, Siboru Pareme sangat merindukan Deak Parujar dan memohon kepada suaminya agar mau memaafkan putrinya itu. Tuan Batara Guru juga sebenarnya sudah merindukan putrinya itu sejak lama. Ditambah lagi keinginannya untuk melihat kedua cucunya membuat sang Raja mencabut hukumannya dan memperbolehkan Deak Parujar beserta semua keluarganya kembali ke Kerajaan Ginjang. Akan tetapi karena kedua anaknya dilahirkan di Kerajaan Tonga, tubuhnya tidak mampu menembus pintu pembatas Kerajaan Ginjang. Betapa sedih hati Deak Parujar dan Raja Enda-enda. Tetapi kedua anaknya menenteramkan hati kedua orangtuanya dengan berkata bahwa untuk sementara mereka akan menjaga Kerajaan Tonga, dan akan selalu mencari cara untuk menanggalkan raga yang mengikat wujud mereka sebagai penghuni sejati Kerajaan Ginjang. Tuan Batara Guru memberikan jalan bagi mereka bahwa jika mereka melakukan perbuatan baik semasa tinggal di Kerajaan Tonga maka mereka akan kembali ke Kerajaan Ginjang, akan tetapi jika mereka melakukan perbuatan keji, maka yang akan menerima mereka adalah Kerajaan Toru.

Demikianlah Raja Ihat Manisia dan Itam Manisia tinggal beserta keturunannya di Kerajaan Tonga dan meneruskan keterampilan ayah dan ibunya dalam bertenun ulos dan mengukir gorga

Sementara itu Naga Padoha yang terpasung di dalam tanah merasa sangat sedih karena tidak berhasil mendapatkan cinta dari Deak Parujar. Dia memilih tidur untuk melupakan kesedihannya itu. Namun sesekali dia terbangun jika ada ulah manusia di Kerajaan Tonga yang merusak alam. Dan jika dia terbangun, dia akan menggeliat dalam ikatan rantainya untuk mengingatkan mereka agar tidak merusak daratan yang diciptakan oleh wanita yang dicintainya. Itulah yang menyebabkan gempa di Kerajaan Tonga. Semakin banyak kerusakan yang terjadi maka semakin kuat pula gempa yang ditimbulkan sang Naga.



TOKOH CERITA

  1. Tuan Batara Guru; dan istrinya -- Raja
  2. Siboru Pareme; anak-anaknya -- Permaisuri
  3. Tuan Sori Mahummat -- Panglima
  4. Datu Tantan Debata Guru Mulia -- Ulubalang
  5. Sorbajati -- Putri
  6. Deak Parujar -- Putri

  1. Ompu Tuan Mangalabulan; dan istrinya – Penguasa Malam
  2. Siboru Panuturi; anak-anaknya – Penguasa mimpi
  3. Tuan Dipampat Tinggi Sabulan -- Panglima
  4. Si Narudang Ulu Begu -- Putri

  1. Raja Enda-enda -- Seniman Bangunan (Arsitek)
  2. Naga Padoha – Pertapa/ Pengelana
  3. Raja Ihat Manisia – Manusia (laki-laki) pertama
  4. Itam Manisia – Manusia (perempuan) pertama 
  5. Leang-leang Mandi -- Kurir
 ** Cerita ini adalah cerita yang saya sertakan dalam Lomba Tulis Cerita Rakyat tahun 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang saya kirimkan tanggal 20 Agustus 2015 (tidak menang hehehe.... Kudu belajar nulis nih.. )