Sabtu, 21 Mei 2011

Me-manusiakan Tuhan vs Men-Tuhankan Manusia

Suatu pagi di belakang kelas dekat kantin sekolah yang berdinding bata merah yang sengaja diekspose, seorang perempuan kecil bersandar di sedikit bagian dinding itu. Ia mengenakan sepatu hitam polos dan kaus kaki putih yang polos pula. Roknya model berlipit berwarna hijau, menandakan bahwa hari itu bukanlah Senin atau Sabtu, sebab pada kedua hari itu dia dan semua teman-temannya di sekolah itu akan memakai bawahan berwana merah, lengkap dengan dasi merah, dan topi yang senada pula. Kemejanya berlengan pendek berwarna putih bersih dari bahan tetron. Kata ibunya baju berbahan itu akan nyaman dipakai. Nyaman dirasa, dan nyaman dilihat ataupun diperlihatkan. Di bagian lengan kirinya tertulis nama sebuah sekolah dasar. Dan pada dada kirinya terjahit dengan rapi simbol sekolah dasar yang juga dikenakan oleh semua murid-murid setingkatnya di seantero tanah yang disebut Nusantara. Di atas simbol itu tertulis namanya dalam jahitan yang tak kalah rapi.
Ya! Rapi dan disiplin, itulah kesan yang selalu diterjemahkan penampilan para muda mudi cilik pengisi SD itu.

Perempuan kecil itu sedang menikmati jajanannya yang dikemas dalam plastik kecil.
Entah darimana datangnya sebuah tanya dalam pikirannya. "Kalau aku dan semua ini ciptaan Tuhan, lantas Tuhan itu ciptaan siapa?"
Namun seperti munculnya pertanyaan itu, tiba2 ada semacam ketakutan yg menghempaskan pikirann itu kembali. Ketakutan atas jawaban yg mungkin didapatkannya pada saat itu.
Pasti ada yang salah dengan jajanannya hari itu, pikirnya.
Ketika pertanyaan tadi kembali menggeliat, ia memutuskan untuk tidak tahu.
Tidak untuk saat itu.

Waktu berlalu, sandang yang dikenakan perempuan kecil itu pun berganti. Meski ia tetap berada di area yang sama namun model dan warna roknya sudah berubah. Yang awalnya ia bebas melangkahkan kakinya kemana dan sejauh yang ia mau, sekarang ini hanya terbatas sampai 40 senti saja. Langkahnya sudah dbatasi oleh roknya yang bermodel span. Awalnya perempuan yang sudah menginjak usia remaja itu merasa tidak terlalu nyaman, namun tiga warna rok yang akan dikenakannya setiap minggu cukup mengalihkan perhatiannya.Tidak ada perubahan pada kemejanya, hanya saja di lengan kirinya sekarang tertulis SMP. Nama sekolahnya masih sama. Sepatunya masih hitam, demikian juga kaus kakinya tetap putih bersih. Ada satu benda baru yang dikenakannya. Ikat pinggang berwarna hitam. Semakin menegaskan penampilan dia dan teman-temannya sebagai mahluk-mahluk disiplin. Mahluk-mahluk elit di kota kecilnya. Setidaknya itulah gambaran yang ada dalam benaknya.

Pada tahun kedua pelajarannya di SMP itu, oleh orangtuanya ia disuruh belajar katekhisasi sidhi di gerejanya. Waktu itu baginya itu tiada lain dari sebuah bagian dari rutinitas yang wajib dijalaninya. Tanpa bertanya, ia pun pergi ke gereja sekali seminggu dengan membawa alkitab yang baru dibelinya. Sedikit ciut nyalinya waktu tau bahwa dia adalah pelajar termuda di gereja itu. Butuh beberapa minggu lagi ketika seorang teman satu sekolahnya ahirnya ikut juga disana. Mereka beda kelas dan tidak pernah bertegur sapa. Namun keberadaan lelaki muda itu cukup menguatkannya. 

Dia suka mengantuk pada saat belajar katekhisasi sidhi itu. Selain cara mengajar (mendongeng?) Voorhanger yang tidak pernah menarik perhatiannya, pikirnnya juga disibukkan dengan keinginan untuk menguasai materi-materi pelajaran di sekolahnya lebih dalam lagi. Dia ingin menang dari teman dekatnya yang sudah membuatnya di urutan kedua selama beberapa tahun terahir masa SDnya. Ya! Di usia yang masih sangat muda itu dia sudah ditempah menjadi mahluk pesaing. Terlebih lagi dia diajari untuk menerima semua kekalahannya dengan sangat lapang dada, lalu pulang ke rumah, kembali melahap materi-materi pelajaran sekolahnya dan tekad yang semakin meruncing untuk menang. Bukan untuk mengalahkan sahabatnya. Dia cuma ingin menang. Dan ia menang di beberapa medan pertempurannya.

Setelah belajar hampir 6 bulan, dia dan teman-temannya tiba pada masa ujian katekhisasi. Ujian berbentuk lisan. Di dalam gerejanya terdapat empat lajur bangku-bangku panjang yang tersusun berbaris-baris seperti pada gereja lain umumnya. Hanya dua lajur tengah yang ditempati pada baris-baris depannya. Sebelah kiri pintu masuk utama gereja ditempati oleh para peserta ujian, sedangkan sebelah kanan ditempati oleh para orangtua peserta. Kedua lajur ujung kiri dan kanan dibiarkan kosong.

Sekilas pada ingatan perempuan itu melintas gambaran dirinya yang masih sangat belia sedang menarikan tor-tor di podium gereja itu dalam suatu perayaan. Seingatnya dia hanya memandang ke arah orangtuanya yang duduk di bangku-bangku gereja itu. Seolah dia sedang berkata, "Ayah! Ibu! Inilah aku anakmu. Lihat! Lihatlah jiwa yang ada padaku. Jiwa yang menyapamu melalui tubuh mungilku." Waktu itu dia masih duduk di bangku TK yang gedungnya persis berada di samping gereja itu.

Sekarang orangtuanya juga beada di deretan bangku itu. Dan kali ini ia ingin mempersembahkan suatu kebanggaan bagi mereka. Dia akan menjawab dengan tangkas pertanyaan-pertanyaan dari Voorhanger dan Pendeta yang menjadi hakim di sore itu. Dan dia membuktikannya. Dengan berdiri tegap dua pertanyaan pertama adalah pertanyaan teoritis yang kalau rajin mencatat dan membacanya kembali, sudah pasti bisa dijawab.

Pertanyaan terahir datang dari Pendeta tentang budaya batak yang tidak sesuai dengan ajaran gereja. Dia sempat terdiam sejenak, berusaha mengingat segala cerita yang disimaknya ketika orangtuanya sedang mengobrol. Lalu dia mengulang beberapa ucapan ayahnya tentang mangungkal holi. Si Pendeta tersenyum kepadanya dan mempersilahkannya duduk kembali. Ia melirik ke arah orangtuanya yang tersenyum mengangguk ke arahnya.

Ada 2 hal yang akan diingatnya dari ritual ujian katekhisasi sidhi itu.
Ayat alkitab yang menjadi hata sipaingot-nya dan lagu yang mengiringinya ketika secara simbolik membakar dosa-dosanya di altar gereja.
Hata sipaingot-nya tertulis dalam Yakobus 2:12:
"Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia."
James 2 : 12
Blessed is the man who is patient under trial and stands up under temptation, for when he has stood the test and been approved, he will receive crown of life which God has promised to those who love Him.

Lagu yang mengiringinya di altar tertulis dalam Buku Ende No. 171 TANDAI MA AU BL.49
1. Tandai ma au, sungkapi ma dohot rohangku.
Uji ma au, pamanat huhut ma dalanku. Olo ditanda Ho au Debata.
2. Asi ma rohaM, taringot tu pangalahongku.
Olo tutu, jotjot do na lilu dalanku. Sesa dosangku, sude Debata.
3. Sai tatap ma au, tambai ma haporseaonku.
Togu ma au! Tu surgo papintor langkangku. Ala AnakMu ma i, Debata.

Kedua hal ini menjadi senjata sekaligus tamengnya di kemudian hari. Di saat perempuan itu dihantam habis-habisan oleh kenyataan yang sangat jauh dari yang bisa dibayangkannya.

----------

Beberapa tahun dari kelulusan katekhisasi sidhi itu, perempuan yang kini sudah tidak cilik lagi sedang menonton film buatan Hollywood yang karakter utamanya diperankan oleh salah satu aktor komedi kesukaannya, Jim Carrey.  Ceritanya ada seorang lelaki bernama Bruce yang merasa hidupnya selalu mengalami kesialan lalu dengan segenap amarahnya dia mengatakan bahwa "Tuhan" sangat tidak adil karena IA hanya bisa bersenang-senang di atas sana dengan semua Maha KekuatanNya sambil mempermainkan kehidupan seorang seperti Bruce. Lalu Tuhan dengan caraNya mengajak Bruce berbincang dan menawarkan untuk menempati posisiNya. Bruce menyetujuinya walau dia merasa pada saat itu pasti sedang bermimpi. Singkat cerita, ahhirnya Bruce menyadari bahwa tidaklah gampang untuk menjadi Tuhan. Ahirnya Bruce berdamai dengan Tuhan-nya.

Setelah menonton film tersebut, perempuan yang pernah bersandar di tembok bata merah sekolahnya itu menggali berbagai pertanyaan tentang Tuhan-nya. Dia memilah pertanyaan-pertanyaan itu dan mengambil satu diantaranya. Pertanyaan yang sering membingungkannya ketika dikatakan Tuhan dalam wujud Yesus turun ke dunia untuk menghapus dosa-dosa manusia. Kenapa pula Tuhan repot-repot turun ke dunia manusia hanya untuk mengampuni dosa-dosanya? Bukankah mengampuni itu bisa dilakukan dengan begitu saja? Tak perlu syarat apapun. Bukankah itu salah satu wujud kasih?

Terpikir olehnya, mungkin ada seorang seperti Bruce yang menantangNya untuk menjadi manusia. Mungkin Bruce yang lain itu pernah bilang, "Iyalah Tuhan, Kau punya kekuasaan dan segalanya. Seenaknya saja menghukum kami atas tindakan-tindakan yang menurutMu seharusnya tidak kami perbuat. Tahu apa Kau tentang kami? Kau tidak tahu apa yang kami alami di bawah sini sebab Kau tenang-tenang saja menonton dari atas sana!"

Lalu Tuhan turun dalam wujud Yesus dengan mengambil semua penderitaan yang paling sering dikeluhkan manusia saat itu. Dia lahir sebagai anak diluar nikah, di kandang domba yang kotor, dikejar-kejar, tidak menikah, dihianati oleh salah seorang sahabatnya, disangkal/ ditinggal para sahabatnya, raganya disiksa dengan deraan yang sangat berat, dielu-elukan lalu dihina. Kemudian mengalami kematian sebagai sesuatu yang sangat ditakuti oleh sebagian besar manusia saat itu dan saat ini.

Setelah mengalami itu, Tuhan pun sadar bahwa menjadi manusia ternyata tidak semudah yang dipikirkanNya.
Ia pun mengampuninya.

*Ini cuma opini pribadi. Sebuah hadiah Paskah 2011 buat semuanya*
























The Creation of Man by Michelangelo << Look closer and tell me who's created who)


Tarutung
Saturday, April 30, 2011 at 1:27pm

Tiga Perempuan

Sudahlah berpapasan
Kenapa tiada saling melihat?

Sudahlah dituntun universal
bukan hanya sekali
Kenapa abai?

Sudahlah merah benang
Kenapa ujung tiada saling berpegang?

Jatuh, pasti!
Indah, yakin!
Hancur, iya!

Menyesal, tidak!

Beranilah hati, terbuai...
Tunduklah pikir, menyangkal...
Pedulilah jiwa, bebas...

Kalau saja
kita berani,
sedikit saja
mengakui keberadaan
kau dan aku...

we can be two rebels,
breaking the rules
me and you
you and i
[ Forever - Chris Brown ]

Dia, dia, dan dia
Sedang berunding damai

 











Picasso Oil Painting Reproductions - Three Women

Balige
Saturday, April 2, 2011 at 11:41pm

Level 26

Aromanya terlebih dahulu menyapaku yang duduk di deretan bangku penonton. Kuhirup dalam-dalam sampai wujudnya menjelma di alam pikirku. Ya! Seorang perempuan yang tangguh, anggun, cerdas, dan cantik. Begitulah layer wujudnya memasuki alam pikiranku satu demi satu melalui udara yang kuhirup.Kudengar suara seorang usher memastikan bahwa perempuan itu sudah beroleh kenyamanan yang ia butuhkan. “Hmm, orang penting” pikirku. Dengan suaranya yang lembut dan mantap, perempuan itu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada sang usher.Aku belum mau berpaling ke arahnya, lebih memilih untuk menikmati wujud abstraknya yang sungguh menawan mata khayalku. Kuhirup satu demi satu lapisan indah aromanya.
“Siapa yang nampil?” bisiknya yang hanya berjarak beberapa senti dariku. “Anaknya atau ponakan?” lanjutnya lagiTanpa menoleh, aku memiringkan kepala sedikit ke arahnya dan mengatakan bahwa aku disini untuk melihat penampilan kakakku yang merupakan salah satu guru vokal di sekolah musik yang sedang melaksanakan pagelaran itu.

Ada sesuatu di suaranya yang membuatku memecah perhatian antara penampilan murid-murid kursus musik itu dengan percakapan ringan yang ditawarkannya. Suatu hal yang sangat jarang kulakukan ketika sedang menikmati suatu pagelaran seni. Karena menurutku ada banyak wujud-wujud abstrak yang muncul pada saat seorang manusia fana berbicara dengan bahasa tak berwujud namun sangat nyata rasanya di sisi abstrak yang berdiam di fana tubuhku. Dan bagiku itu merupakan suatu momen sakral yang berharga.
Pada saat penampilan salah seorang murid pemain biola berahir, kami bertepuk tangan dan aku memutuskan untuk melihat wujud konkrit aroma yang kunikmati sedari tadi. Seorang perempuan berusia empat puluhan, berkulit putih, hidungnya bangir, bibirnya tipis disapu lipstik berwarna merah muda. Giginya bersih dan tertata rapi, rambutnya kecoklatan diblow membentuk ikal sederhana dan menyatu dengan keindahan yang mendekati sempurna. Lehernya yang jenjang mencuat dalam balutan kemeja satin berwarna putih dan rok hitam yang mengepas membentuk siluet tungkainya sepanjang batas lututnya. Sungguh tubuhnya sangat ideal, bahkan untuk perempuan berusia sepuluh tahun lebih muda darinya. Namun kesemuanya itu hanya elemen tambahan bagi sorot matanya yang magis. Sangat indah bercahaya. Ada kelembutan disana, dan sesuatu menyala-nyala di dalamnya menusuk segala keangkuhan yang membentengiku. Membentur tembok yang sering kujadikan tameng untuk tidak terlalu meladeni percakapan yang menurutku akan mengarah ke hal-hal tidak penting. “Aroma yang sangat tepat,” pikirku.

Pembicaraan kami berlanjut dari hal-hal yang sederhana sampai yang cukup serius. Dari perkenalan singkat sampai impian-impian yang perwujudannya masih dijajaki. Menurutku, impian adalah sesuatu yang sangat serius karena mampu memberi kekuatan untuk meraihnya. Dan seorang tidak akan sembarang mengutarakan impiannya pada orang lain. Tidak pada seorang yang baru dikenal dalam beberapa menit. Tapi perempuan ini, dia mengutarakan impiannya untuk membentuk suatu orkestra di gereja. Usia tidak akan menjadi penghambat seorang untuk hidup, itu aku sudah tahu. Tapi aku belum pernah mendengarnya langsung dari seorang yang menurut pandangan banyak orang di lingkunganku seharusnya tidak perlu berpikir “macam-macam” lagi. Aku juga punya impian. Ada banyak. Namun aku memutuskan untuk mendengar lebih jauh impian perempuan berusia empat puluhan itu. Menurutnya seni, khususnya musik mempunyai kekuatan magis yang bisa menciptakan keseimbangan dan damai dalam diri manusia juga terhadap lingkungannya. Bagiku terdengar seperti wujud Tuhan.

Ketika seorang lelaki yang buta selesai menyanyikan sebuah lagu, perempuan itu bertepuk sambil menggumam betapa Tuhan Maha Kuasa. Aku bisa saja setuju, tapi pikiranku lebih mengagumi keinginan yang ada di diri lelaki itu. Tuhan tentunya tidak pilih kasih di antara mereka yang buta ataupun tidak, karena itu sangatlah tidak adil. Kecuali jika Tuhan adalah suatu keinginan di dalam diri, maka tentunya Tuhan tidak akan ada dimana-mana. Hanya di beberapa wadah tertentu.

Perempuan itu kemudian bercerita tentang dua anaknya yang tampil pada sore itu. Anaknya yang pertama, seorang lelaki berusia 16 tahun, sangat menyukai permainan drum sampai-sampai sepulang sekolah dia hanya akan bergelut dengan pukulan demi pukulan irama di dalam kamarnya, bahkan sampai lupa makan. Aku mengagumi sosok muda itu ketika menghentak-hentakkan jiwanya melalui dua stik kecil itu. Jiwanya menyala liar dan indah bagaikan lidah-lidah api di panggung kecil itu. Luapan kebahagiaan karena rasa bangga menggelegak dari sosok ibunya yang sudah duduk lebih tegak dari sebelumnya.

Anaknya yang kedua, seorang perempuan berusia 14 tahun yang rapuh seperti remaja seusianya pada umumnya. Awalnya dia belajar piano pada seorang guru ternama di kota ini yang memang sengaja dipilihkan orang tuanya. Ternyata remaja itu belum menemukan cintanya pada permainan piano itu. Atau mungkin ia belum memutuskan untuk menentukan pada apa ia akan memberikan cintanya itu. Kemudian dia mencoba belajar teknik vokal dan sepertinya menemukan, atau sekali lagi “memberikan”, kecintaannya di bidang itu. Di panggung yang tidak terlalu besar itu ia bernyanyi dengan sedikit rasa takut dan penuh kehati-hatian. Dalam keraguannya bersenandung, matanya menyapu bangku penonton. Mencari-cari sesuatu dan berhenti tepat enam puluh senti di sebelah kananku. Dia menemukan sayap pelindungnya untuk melanjutkan nyanyiannya. Penampilannya diahiri dengan tepuk tangan riuh penontonnya, termasuk perempuan di sebelahku.

“Maaf kalau saya agak lancang, tapi apakah kamu sudah menikah?” tanyanya kemudian.Aku tersenyum. “Bagaimana mungkin aku menganggapmu lancang setelah membawaku ke lingkaran terluar duniamu dan menjamuku dengan kisah cintamu terhadap kedua anakmu?” batinku.“Belum”, jawabku.

Sementara itu para murid dan guru kursus musik bergantian menampilkan karya-karya di bidangnya masing-masing. Para pencari kepuasan pasti tidak akan betah berlama-lama di ruangan ini, karena mereka tidak akan menemukan kesempurnaan nada dan irama. Namun jika kau ada di area tempatku berada saat ini, dan membiarkan jiwamu maju selangkah ke dunia mereka, kau akan melihat bagaimana perjuangan mereka untuk tetap berada di panggung itu menyelesaikan sesuatu yang menjadi misi mereka. Meski suaranya fals dan serak karena rasa grogi, vokal yang tidak jelas dan nada yang tidak sesuai dengan partitur, serta selusin kesalahan lain yang pasti akan memaksa para gurunya untuk meminta para murid itu mengulangnya lagi dan lagi jika hal ini terjadi di kelasnya. Namun mereka disini bukan hanya belajar untuk memainkan nada-nada dengan benar. Mereka disini belajar sebagai petarung dan menjadi pemenang, yang akan diterapkan dalam kesehariannya. Mereka akan mengerti akan batas daya yang mereka punya pada saat pertarungan itu, tetapi hampir bisa dipastikan bahwa mereka akan meningkatkan daya itu seoptimal mungkin agar menjadi kemenangan yang lebih megah di pertarungan selanjutnya.

Kemudian perempuan itu melanjutkan kisahnya bahwa ia menikah di usianya yang ke 29, dua tahun lebih muda dari usiaku saat ini. Dia dijodohkan. Ketika itu dia adalah seorang pekerja yang sedang menikmati kariernya dan sedang membangun wujud trimatra dari gambaran masa depannya yang sudah sedemikian jelas terproyeksi dalam benaknya. Pada saat itu diam-diam dia memohon dalam doanya agar pernikahannya diundur lagi. Memohon agar ia diberi kesempatan mempersembahkan wujud trimatra itu pada dirinya yang sudah cukup jauh berjuang untuk itu. Namun ada kuasa lain diluar dirinya yang turut campur tangan dalam mengambil keputusan pernikahan itu. Kuasa lain yang waktu itu tidak disadarinya juga berasal dari dalam dirinya sendiri.

Setelah menikah, kembali dalam bisiknya ia berdoa agar dia tidak diberi anak dahulu. Dia masih mencari jalan berupa alasan untuk melakukan banyak hal yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya, jiwa dan raganya. Namun kuasa lain kembali turut campur tangan dalam hidupnya, seorang putra telah terkandung di rahimnya. Dia tidak menceritakan bagaimana kelanjutan impiannya semasa sebelum menikah dengan masa tatkala jiwa dan raganya sudah terbagi dengan jabang bayi dalam kandungannya. Aku tidak bertanya sebab aku masih berada di lingkar terluar dunianya yang masih mempesonaku. Dia memang tidak mengatakan betapa ia bahagia akan keluarga dan kedua anaknya, namun intensitas kemunculan mereka dalam ceritanya sudah menjelaskannya secara gamblang.

Seperti cahaya mentari yang menyelinap diam- diam pada kabut-kabut ceritanya, ia tiba-tiba berkata padaku, “Kebahagiaan tidak terletak pada apa yang kita miliki, namun pada sejauh apa kita mampu bersyukur atas segala sesuatu yang ada pada diri kita dan sekelilingnya.”
Aku memandangnya sekitar tiga sampai empat detik.
Terpana.

Sementara itu pembawa acara telah mengahiri pagelaran dengan pidato singkatnya. Penonton bertepuk tangan memberi penghargaan bagi para seniman muda dan guru-gurunya. Perempuan itu mohon pamit karena masih ada urusan di tempat lain. Aku menjabat tangannya dengan erat dan berterima kasih karena sudah belajar hal baru darinya. Dia tersenyum dengan pesona yang sama dengan aroma yang kuhirup dua jam sebelumnya. Aku mempersilahkannya pergi. Dalam diriku terbersit harapan bahwa aku sedang bertemu dengan abstrak diriku lima belas tahun lagi dari sekarang pada diri perempuan itu.

Bukan suatu kebetulan ada satu bangku kosong di sebelah kananku. Bukan suatu kebetulan perempuan itu memilih duduk disitu alih-alih banyak bangku lain yang masih kosong. Bukan suatu kebetulan bahwa guru vokal putrinya adalah kakakku, karena setelah perempuan itu beranjak pulang dan seorang penonton lain menemukan telepon genggamnya terjatuh di lantai, aku bisa langsung memberikannya ke putranya. Sebenarnya bisa saja aku memberikan ke putrinya, namun aku ingin melihat lidah-lidah api yang kulihat di panggung tadi dari jarak dekat. Aku bersyukur atas keindahan yang kutemukan padanya. Rasa syukur pertamaku di sore itu dan aku merasakan kebahagiaan yang sangat nikmat .

Mungkin seharusnya aku bersyukur pertama kali setelah mengurai aroma tadi ke dalam suatu bentuk abstrak dan bertemu dengan wujud fananya. Namun aku terlalu terpana olehnya sehingga memutuskan untuk menikmati pesona itu seutuhnya.

Aku tidak mencari tahu tentang identitas perempuan itu. Bahkan tidak namanya. Karena kadang kala ketidaktahuan itu menjadi sesuatu yang indah ketika alam pikirmu menari-nari menikmati rasa penasaran.

Aroma itu menyapaku di lantai 26 gedung bermenara empat.

[akan bersambung....]














  




    
@The View, Swiss Belhotel Level 26
28 November 2010
 
Balige,
Friday, April 29, 2011 at 10:17pm